Potensi alga cokelat (T decurrens)
sebagai antikanker diharapkan dapat menjadi obat antikanker baru yang
"cespleng" dan aman bagi penderita tumor.
Penemuan khasiat alga cokelat sebagai
antikaker ini berawal dari rasa empati Thamrin Wikanta terhadap ayah dan
kakaknya yang menderita tumor ganas. Ihwal penyakit kanker sang ayah,
Thamrin tidak mengetahui secara persis ceritanya karena saat itu masih
duduk di bangku sekolah dasar. Dia hanya mengingat sebagian tubuh
ayahnya mengalami benjol-benjol.
Namun, Thamrin ingat betul ketika kakak
perempuannya divonis dokter menderita kanker payudara. Sang kakak
disarankan dokter untuk menjalani kemoterapi, yakni terapi kanker dengan
menggunakan zat kimia atau obat-obatan untuk membunuh sel-sel kanker.
"Berapa, Dok, biaya kemoterapi kakak
saya?" tanya Thamrin kepada dokter. Saat itu, dokter hanya melempar
senyum, lalu memintanya bertanya kepada perawat atau petugas
administrasi.
Dengan melontarkan pertanyaan yang sama
kepada perawat, Thamrin juga mendapat jawaban senyum. Ketika bertanya
pada petugas administrasi, dia berharap memperoleh jawaban sebenarnya.
"Biaya kemoterapi relatif mahal, mulai
dari 10 juta rupiah hingga 100 juta rupiah," kata Thamrin menirukan
perkataan petugas administrasi pada tahun ’90-an di sebuah rumah sakit
di Jakarta. Kala itu, dia hanya melongo karena tidak bisa berbuat
banyak.
Sejak peristiwa itu, Thamrin banyak
membaca buku tentang penyakit kanker dan upaya penyembuhannya. Kebetulan
ada koleganya yang memberi buku karya ilmuwan asing tentang khasiat
makroalga (rumput laut) sebagai antikanker.
Gayung bersambut. Thamrin kemudian
menjadi peneliti bioteknologi di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pengolahan Produk dan Bioteknologi (BBP4B) Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP), Jakarta.
Kebetulan, dia banyak meneliti rumput
laut asal Indonesia untuk bahan pangan. Bekal penelitian itu diharapkan
akan memudahkannya mencari bahan baku yang mengandung senyawa aktif
untuk melawan kanker.
Namun, inisiatif untuk meneliti khasiat
rumput laut sebagai bahan baku obat atau sekadar makanan suplemen
penderita kanker tidak berjalan mulus. Proposal penelitiannya
berkali-kali ditolak karena fokus utama lembaganya saat itu masih
berkutat pada riset rumput laut untuk bahan pangan.
Bahan Baku Obat
Blak, pintu penelitian tentang bahan
baku obat dari produk kelautan itu terbuka ketika ada pergantian pucuk
pimpinan tempat Thamrin mengabdikan diri. Selanjutnya, dia menggandeng
teman-temannya untuk meneliti rumput laut yang tersebar di Indonesia
sebagai bahan baku obat atau suplemen penderita kanker.
"Awalnya, saya meneliti 19 jenis rumput
laut hijau, merah, dan cokelat. Akhirnya, penelitian terkonsentrasi pada
jenis rumput laut cokelat Turbinaria decurrens yang ekstraknya paling
berpotensi sebagai antitumor," ungkap Thamrin di laboratoriumnya, awal pekan lalu.
Di Indonesia, keberadaan rumput laut
cokelat itu sangat berlimpah dan berpotensi dibudidayakan. "Rumput laut
punya potensi lebih mudah untuk dibudidayakan daripada biota laut lain
yang juga mengandung senyawa aktif untuk melawan sel kanker," tambah
Koordinator Kelompok Riset Bioteknologi BBP4B Balitbang KP, Ekowati Chasanah.
Sejauh ini, hasil penelitian terdahulu
menunjukkan rumput laut cokelat ini mengandung senyawa kimia klorofil a
dan klorofil c, β-karoten (baca: beta karoten), violasantin dan
fukosantin, pirenoid, filakoid, selulosa, dan algin.
Pigmen karoten diketahui memiliki sifat
antioksidan sehingga mampu bertindak sebagai pemusnah radikal bebas
hasil proses metabolisme dalam tubuh. Antioksidan adalah zat yang mampu
memperlambat oksidasi oleh radikal bebas.
Mekanisme kerja antioksidan dalam
mencegah penyakit dengan menetralkan dan menghancurkan radikal bebas.
Pasalnya, radikal bebas ini dapat merusak biomolekul seperti DNA,
protein, lipoprotein di dalam tubuh yang akhirnya dapat memicu
terjadinya penyakit degeneratif, terutama kanker.
Mengungkap Bioaktif
Untuk mencari senyawa aktif dalam rumput laut cokelat, menurut peneliti bioteknologi BBP4B,
Nurrahmi Dewi Fajarningsih, diawali dengan mengekstrak sampel rumput
laut cokelat. Hasil ekstrak kasar itu kemudian dipisah-pisahkan
(fraksinasi) untuk mencari senyawa bioaktif yang spesifik membunuh sel
kanker.
Perempuan yang akrab disapa Dewi itu
menguji senyawa bioaktif dalam rumput laut cokelat sebagai antikanker
mulut rahim (serviks) dan kanker payudara.
Apa sebab? Terlepas dari kisah Thamrin
sebelumnya, menurut Dewi, penderita kedua jenis kanker tersebut paling
banyak di Indonesia. Dalam Global Cancer Statistic 2008, dilaporkan
angka kematian penderita kanker payudara di Indonesia mencapai 20.052,
sementara angka kematian akibat kanker serviks berjumlah 7.493.
Tingginya tingkat kematian tersebut
lantaran sebagian besar penderita kanker terlambat mendapat penanganan
medis dengan berbagai alasan. Pada sisi lain, tidak sedikit obat-obat
sintentik kanker telah resisten atau tidak semua orang respons terhadap
obat-obat kanker yang ada.
Bersyukur, dalam uji invitro, Dewi mampu
membuktikan ekstrak T decurrens punya potensi bioaktif sebagai
antikanker serviks, namun kurang berpotensi sebagai antikanker payudara.
Agar khasiat rumput laut cokelat itu
lebih mujarab, ekstrak T decurrens perlu ditingkatkan kualitasnya.
"Semakin murni, maka bioaktivitasnya akan makin bagus," tukas Dewi.
Selain itu, mekanisme aksi secara molekuler dari senyawa bioaktif T
decurrens sebagai antikanker serviks dipelajari, yaitu melalui jalur
apoptosis (bunuh diri sel secara terprogram).
Hasil penelitian potensi T decurrens
yang kaya senyawa fukosantin sebagai antikanker itu nantinya diharapkan
dapat menjadi obat antikanker baru yang cespleng dan aman bagi penderita
kanker. agung wredho
Mewujudkan Harapan Hidup Penderita Tumor
Sekarang ini, Thamrin juga tengah mencoba menyalut ekstrak rumput laut cokelat dalam partikel nano.
Jalan untuk mengantarkan ekstrak alga
cokelat sebagai kandidat obat antikanker baru sudah dimulai oleh para
peneliti bioteknologi di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pengolahan Produk dan Bioteknologi (BBP4B) Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP)masih teramat jauh.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
sSetidaknya, ada lima langkah yang harus dilalui, yakni skrining
(screening), identifikasi senyawa aktif dan uji khasiat (uji
bioaktivitas), optimasi produksi senyawa aktif, uji keamanan praeklinis,
dan uji klinis empat tahap (I-IV). Beberapa tahapan tersebut telah
dilakukan oleh peneliti BBP4B, sedangkan uji keamanan berupa uji klinis
belum dilakukan.
Walau begitu, para peneliti bioteknologi
di Balai Besar Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan
Produk dan Bioteknologi (BBP4B) Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) Sampai sekarang, mereka terus
berupaya berkolaborasi dengan para ilmuwan bidang lainnya dari lembaga
penelitian dan pengembangan berbeda. "Untuk mewujudkan obat baru ini,
kami tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan dari bidang ilmu dari
berbagai instansi lainnya dan industri," ujar Kelompok Riset
Bioteknologi BBP4B Balitbang KP, Ekowati Chasanah.
Sebagai contoh, untuk membuktikan
senyawa aktif dari rumput laut cokelat mampu mengatasi multi obat
resisten (multidrug resistant) terhadap penyakit kanker, maka BBP4B
Balitbang KP akan bergandengan tangan dengan menggandeng para peneliti
dari Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
"Kerja sama tersebut untuk menjawab
apakah mungkin alga cokelat ini mengatasi permasalahan multidrug
ressistant terhadap penyakit kanker dan akibat mikroorganisme seperti
bakteri," kata Ekowati.
Peneliti bioteknologi, Thamrin Wikanta,
menambahkan BBP4B Balitbang KP juga menjalin kerja sama dengan peneliti
dari Universitas Pancasila dan Universitas Indonesia untuk uji
praklinis, seperti keefektifanitas (dosis) dan toksisitas, sehingga
nantinya ekstrak dari rumput laut cokelat itu aman untuk digunakan
penderita kanker.
Selain itu, sekarang ini Thamrin juga
tengah mencoba menyalut ekstrak rumput laut cokelat dalam partikel nano.
"Sedang diutak-utik untuk memilih yang paling aktif terserap dalam
pembuluh darah," kata Thamrin.
Sembari penelitian obat tetap berjalan,
Ekowati juga mencoba menjajaki kerja sama dengan institusi lainnya untuk
mengembangkan bahan baku kandidat obatherbal antikanker yang
terstandar. Pasalnya, selama ini, bahan baku yang digunakan untuk
penelitian menggunakan rumput laut cokelat T decurrens dari zona pasang
surut pantai Binuangeun, Banten.
Dengan kata lain, bukan hasil budi daya
rumput laut. Sebab, apabila rumput laut cokelat ini akan dikembangkan,
perlu dikaji budi dayanya di perairan yang baik dan sesuai. "Kami
inginberharap mengembangkan budidaya rumput laut cokelat dibudidayakan
di perairan yang bebas dari kontaminandari alam belum terjamin tingkat
keamanannya, sementara rumput laut memiliki kemampuan menyerap
kontaminan dengan baik," kata Ekowati.
Hal tersebut perlu dilakukan karena
rumput laut memiliki kemampuan menyerap kontaminan seperti logam berat
dengan baik.Itu Karena itu, rumput laut sebagai bahan baku herbal
terstandar ataupun obat harus dihasilkan dari perairan yang bersih dari
polusi dan aman, tidak mengandung kontaminan.
Apabila upaya budi daya rumput laut
cokelat ini berhasil, pungkas Ekowati, maka akan memudahkan industri
yang tertarik untuk mengembangkan rumput laut cokelat ini penelitian
potensi kandidat obat antikanker lebih lanjut.
Akhir cerita, semoga ada industri yang
menyambut hasil penelitian ini dan menyambungkan dengan tahap
komersialisasi sehingga ada obat kanker asal perairan Indonesia yang
murah dan terjangkau oleh masyarakat Indonesia, semua tahapan penelitian
ekstrak alga cokelat sebagai obat antikanker baru dapat tercapai agar
banyak nyawa terselamatkan.
Sumber: http://www.bbrp2b.kkp.go.id/index.php/berita/108-membasmi-kanker-dengan-alga-cokelat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar