Rabu, 27 Februari 2013

Membasmi Kanker dengan Alga Cokelat

Potensi alga cokelat (T decurrens) sebagai antikanker diharapkan dapat menjadi obat antikanker baru yang "cespleng" dan aman bagi penderita tumor.
Penemuan khasiat alga cokelat sebagai antikaker ini berawal dari rasa empati Thamrin Wikanta terhadap ayah dan kakaknya yang menderita tumor ganas. Ihwal penyakit kanker sang ayah, Thamrin tidak mengetahui secara persis ceritanya karena saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar. Dia hanya mengingat sebagian tubuh ayahnya mengalami benjol-benjol.
Namun, Thamrin ingat betul ketika kakak perempuannya divonis dokter menderita kanker payudara. Sang kakak disarankan dokter untuk menjalani kemoterapi, yakni terapi kanker dengan menggunakan zat kimia atau obat-obatan untuk membunuh sel-sel kanker. 
"Berapa, Dok, biaya kemoterapi kakak saya?" tanya Thamrin kepada dokter. Saat itu, dokter hanya melempar senyum, lalu memintanya bertanya kepada perawat atau petugas administrasi. 
Dengan melontarkan pertanyaan yang sama kepada perawat, Thamrin juga mendapat jawaban senyum. Ketika bertanya pada petugas administrasi, dia berharap memperoleh jawaban sebenarnya. 
"Biaya kemoterapi relatif mahal, mulai dari 10 juta rupiah hingga 100 juta rupiah," kata Thamrin menirukan perkataan petugas administrasi pada tahun ’90-an di sebuah rumah sakit di Jakarta. Kala itu, dia hanya melongo karena tidak bisa berbuat banyak.
Sejak peristiwa itu, Thamrin banyak membaca buku tentang penyakit kanker dan upaya penyembuhannya. Kebetulan ada koleganya yang memberi buku karya ilmuwan asing tentang khasiat makroalga (rumput laut) sebagai antikanker. 
Gayung bersambut. Thamrin kemudian menjadi peneliti bioteknologi di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi (BBP4B) Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP), Jakarta.
Kebetulan, dia banyak meneliti rumput laut asal Indonesia untuk bahan pangan. Bekal penelitian itu diharapkan akan memudahkannya mencari bahan baku yang mengandung senyawa aktif untuk melawan kanker. 
Namun, inisiatif untuk meneliti khasiat rumput laut sebagai bahan baku obat atau sekadar makanan suplemen penderita kanker tidak berjalan mulus. Proposal penelitiannya berkali-kali ditolak karena fokus utama lembaganya saat itu masih berkutat pada riset rumput laut untuk bahan pangan. 

Bahan Baku Obat
Blak, pintu penelitian tentang bahan baku obat dari produk kelautan itu terbuka ketika ada pergantian pucuk pimpinan tempat Thamrin mengabdikan diri. Selanjutnya, dia menggandeng teman-temannya untuk meneliti rumput laut yang tersebar di Indonesia sebagai bahan baku obat atau suplemen penderita kanker. 
"Awalnya, saya meneliti 19 jenis rumput laut hijau, merah, dan cokelat. Akhirnya, penelitian terkonsentrasi pada jenis rumput laut cokelat Turbinaria decurrens yang ekstraknya paling berpotensi sebagai antitumor," ungkap Thamrin di laboratoriumnya, awal pekan lalu. 
Di Indonesia, keberadaan rumput laut cokelat itu sangat berlimpah dan berpotensi dibudidayakan. "Rumput laut punya potensi lebih mudah untuk dibudidayakan daripada biota laut lain yang juga mengandung senyawa aktif untuk melawan sel kanker," tambah Koordinator Kelompok Riset Bioteknologi BBP4B Balitbang KP, Ekowati Chasanah.
Sejauh ini, hasil penelitian terdahulu menunjukkan rumput laut cokelat ini mengandung senyawa kimia klorofil a dan klorofil c, β-karoten (baca: beta karoten), violasantin dan fukosantin, pirenoid, filakoid, selulosa, dan algin. 
Pigmen karoten diketahui memiliki sifat antioksidan sehingga mampu bertindak sebagai pemusnah radikal bebas hasil proses metabolisme dalam tubuh. Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat oksidasi oleh radikal bebas. 
Mekanisme kerja antioksidan dalam mencegah penyakit dengan menetralkan dan menghancurkan radikal bebas. Pasalnya, radikal bebas ini dapat merusak biomolekul seperti DNA, protein, lipoprotein di dalam tubuh yang akhirnya dapat memicu terjadinya penyakit degeneratif, terutama kanker.

Mengungkap Bioaktif
Untuk mencari senyawa aktif dalam rumput laut cokelat, menurut peneliti bioteknologi BBP4B, Nurrahmi Dewi Fajarningsih, diawali dengan mengekstrak sampel rumput laut cokelat. Hasil ekstrak kasar itu kemudian dipisah-pisahkan (fraksinasi) untuk mencari senyawa bioaktif yang spesifik membunuh sel kanker. 
Perempuan yang akrab disapa Dewi itu menguji senyawa bioaktif dalam rumput laut cokelat sebagai antikanker mulut rahim (serviks) dan kanker payudara. 
Apa sebab? Terlepas dari kisah Thamrin sebelumnya, menurut Dewi, penderita kedua jenis kanker tersebut paling banyak di Indonesia. Dalam Global Cancer Statistic 2008, dilaporkan angka kematian penderita kanker payudara di Indonesia mencapai 20.052, sementara angka kematian akibat kanker serviks berjumlah 7.493.
Tingginya tingkat kematian tersebut lantaran sebagian besar penderita kanker terlambat mendapat penanganan medis dengan berbagai alasan. Pada sisi lain, tidak sedikit obat-obat sintentik kanker telah resisten atau tidak semua orang respons terhadap obat-obat kanker yang ada.
Bersyukur, dalam uji invitro, Dewi mampu membuktikan ekstrak T decurrens punya potensi bioaktif sebagai antikanker serviks, namun kurang berpotensi sebagai antikanker payudara.
Agar khasiat rumput laut cokelat itu lebih mujarab, ekstrak T decurrens perlu ditingkatkan kualitasnya. "Semakin murni, maka bioaktivitasnya akan makin bagus," tukas Dewi. Selain itu, mekanisme aksi secara molekuler dari senyawa bioaktif T decurrens sebagai antikanker serviks dipelajari, yaitu melalui jalur apoptosis (bunuh diri sel secara terprogram). 
Hasil penelitian potensi T decurrens yang kaya senyawa fukosantin sebagai antikanker itu nantinya diharapkan dapat menjadi obat antikanker baru yang cespleng dan aman bagi penderita kanker. agung wredho

Mewujudkan Harapan Hidup Penderita Tumor
Sekarang ini, Thamrin juga tengah mencoba menyalut ekstrak rumput laut cokelat dalam partikel nano.
Jalan untuk mengantarkan ekstrak alga cokelat sebagai kandidat obat antikanker baru sudah dimulai oleh para peneliti bioteknologi di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi (BBP4B) Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP)masih teramat jauh.
Untuk mencapai tujuan tersebut, sSetidaknya, ada lima langkah yang harus dilalui, yakni skrining (screening), identifikasi senyawa aktif dan uji khasiat (uji bioaktivitas), optimasi produksi senyawa aktif, uji keamanan praeklinis, dan uji klinis empat tahap (I-IV). Beberapa tahapan tersebut telah dilakukan oleh peneliti BBP4B, sedangkan uji keamanan berupa uji klinis belum dilakukan. 
Walau begitu, para peneliti bioteknologi di Balai Besar Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi (BBP4B) Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) Sampai sekarang, mereka terus berupaya berkolaborasi dengan para ilmuwan bidang lainnya dari lembaga penelitian dan pengembangan berbeda. "Untuk mewujudkan obat baru ini, kami tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan dari bidang ilmu dari berbagai instansi lainnya dan industri," ujar Kelompok Riset Bioteknologi BBP4B Balitbang KP, Ekowati Chasanah.
Sebagai contoh, untuk membuktikan senyawa aktif dari rumput laut cokelat mampu mengatasi multi obat resisten (multidrug resistant) terhadap penyakit kanker, maka BBP4B Balitbang KP akan bergandengan tangan dengan menggandeng para peneliti dari Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. 
"Kerja sama tersebut untuk menjawab apakah mungkin alga cokelat ini mengatasi permasalahan multidrug ressistant terhadap penyakit kanker dan akibat mikroorganisme seperti bakteri," kata Ekowati. 
Peneliti bioteknologi, Thamrin Wikanta, menambahkan BBP4B Balitbang KP juga menjalin kerja sama dengan peneliti dari Universitas Pancasila dan Universitas Indonesia untuk uji praklinis, seperti keefektifanitas (dosis) dan toksisitas, sehingga nantinya ekstrak dari rumput laut cokelat itu aman untuk digunakan penderita kanker. 
Selain itu, sekarang ini Thamrin juga tengah mencoba menyalut ekstrak rumput laut cokelat dalam partikel nano. "Sedang diutak-utik untuk memilih yang paling aktif terserap dalam pembuluh darah," kata Thamrin. 
Sembari penelitian obat tetap berjalan, Ekowati juga mencoba menjajaki kerja sama dengan institusi lainnya untuk mengembangkan bahan baku kandidat obatherbal antikanker yang terstandar. Pasalnya, selama ini, bahan baku yang digunakan untuk penelitian menggunakan rumput laut cokelat T decurrens dari zona pasang surut pantai Binuangeun, Banten. 
Dengan kata lain, bukan hasil budi daya rumput laut. Sebab, apabila rumput laut cokelat ini akan dikembangkan, perlu dikaji budi dayanya di perairan yang baik dan sesuai. "Kami inginberharap mengembangkan budidaya rumput laut cokelat dibudidayakan di perairan yang bebas dari kontaminandari alam belum terjamin tingkat keamanannya, sementara rumput laut memiliki kemampuan menyerap kontaminan dengan baik," kata Ekowati.
Hal tersebut perlu dilakukan karena rumput laut memiliki kemampuan menyerap kontaminan seperti logam berat dengan baik.Itu Karena itu, rumput laut sebagai bahan baku herbal terstandar ataupun obat harus dihasilkan dari perairan yang bersih dari polusi dan aman, tidak mengandung kontaminan. 
Apabila upaya budi daya rumput laut cokelat ini berhasil, pungkas Ekowati, maka akan memudahkan industri yang tertarik untuk mengembangkan rumput laut cokelat ini penelitian potensi kandidat obat antikanker lebih lanjut. 
Akhir cerita, semoga ada industri yang menyambut hasil penelitian ini dan menyambungkan dengan tahap komersialisasi sehingga ada obat kanker asal perairan Indonesia yang murah dan terjangkau oleh masyarakat Indonesia, semua tahapan penelitian ekstrak alga cokelat sebagai obat antikanker baru dapat tercapai agar banyak nyawa terselamatkan. 
Sumber: http://www.bbrp2b.kkp.go.id/index.php/berita/108-membasmi-kanker-dengan-alga-cokelat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar